MATANO seperti terpencil dan sendiri. Jalanannya tak beraspal dan  dipenuhi debu bila musim kemarau. Penduduknya berladang, menanam sayur  dan kakao, serta bekerja sebagai nelayan. Desa ini jauh tertinggal  dibandingkan Sorowako, kota yang tumbuh dengan pesat karena  perekonomiannya ditopang oleh keberadaan perusahaan tambang PT Inco. 
Pada abad ke-14 desa ini dikenal sebagai Rahampu’u –tanah untuk orang  pertama yang mendiami negeri. Tanahnya merah dengan gunung dan bukit  mengelilinginya –tanah merah secara geologi mengandung besi. 
Desa ini  pula yang diperkirakan menjadi cikal-bakal kerajaan Luwu, yang dulu  dikenal sebagai penghasil besi terbaik di Nusantara.  Saya mengunjungi desa Matano, yang berada di Kecamatan Nuha, Kabupaten  Luwu Timur, Sulawesi Selatan, Oktober silam. Letaknya berada di pesisir  danau. Udaranya sejuk tapi mataharinya menyengat. Saya heran melihat  tanah yang hitam di sepanjang jalan utama yang bersisian dengan garis  pantai Danau Matano. 
“Itu sisa pembakaran dan peleburan besi,” kata Mahding. 
Mahding, berusia 72 tahun, penduduk asli Matano. Tak jauh dari rumahnya,  terdapat benteng yang membentang sepanjang 300 meter. Benteng itu  terlihat kokoh meski sudah dipenuhi tumbuhan liar. Menurut cerita  masyarakat setempat, panjang benteng itu mencapai 500 meter, dibangun  dari tumpukan tanah dengan bagian dalamnya diisi batu kapur. Tujuannya  untuk menghalau suku-suku yang hendak menyerang Matano. 
Menurut Mahding, benteng itu seharusnya mengelilingi kampung yang  didiami para pandai besi. “Saya dengar cerita orangtua, ada 99 tempat  pandai besi masa itu (di kampung ini). Jadi ramai sekali,” katanya.
Mahding memperlihatkan peninggalan para pandai pandai besi Matano. Ada  palu, landasan pukul, tombak, parang, topi perang, piring, dan ceret.  Sekarang tak satu pun generasi mereka melanjutkan keahlian mengolah  besi. “Ini peninggalan yang lebih muda. Mungkin sebelum ada gerombolan  (DI/TII tahun 1950),” katanya.  
Pada masa awal, Matano diperintah oleh seseorang yang bergelar Mokole.  Mokole Matano memerintah beberapa anak suku dan mendirikan kerajaan  kecil. Tapi ketika kerajaan Luwu berkembang pesat pada abad ke-14,  Matano menjadi bagian dari federasi. Kerajaan-kerajaan yang masuk dalam  wilayah Luwu dinamakan palili –tugasnya membantu, menaati, dan mendukung  penuh aturan dan keputusan-keputusan Luwu. 
Matano memiliki sumber daya alamnya yang kaya besi dan nikel dan  membuatnya menjadi rebutan. Adalah tetangganya sendiri di bagian timur,  To Bungku atau orang Bungku, yang juga dikenal sebagai penambang dan  pelebur biji besi kendati tak sebaik orang Matano. Mereka selalu  terlibat perang dan keberadaan benteng itulah yang jadi penandanya.
Orang Matano mengolah besi dengan sederhana. Mereka memilah batu yang  dianggap punya kandungan nikel yang baik, biasanya berwarna hitam pekat.  Lalu diangkut ke tempat peleburan dan dibakar. Untuk meleburnya, mereka  menggunakan tungku tanah dan bambu sebagai pengganti pipa. Mereka juga  memakai bambu yang berfungsi sebagai tabung pompa untuk menghidupkan dan  menjaga api tetap menyala dalam tungku. Bagian dalam bambu dihaluskan  dengan cermat lalu dimasuki kayu sebagai tuas (mirip pompa zaman  sekarang). Pada ujung kayu itu dibuat bulatan dan melapisinya dengan  bulu ayam, agar dinding bambu bagian dalam rapat dan menghasilkan  dorongan angin yang berhembus cepat. 
Dari produksi itu, kerajaan Luwu menjadi penghasil besi dengan kualitas  terbaik. Di Nusantara besi itu disebut Pamoro Luwu. Namun karena Matano  tak memiliki teknologi, mereka hanya menyediakan bahan baku. Bahan-bahan  itu dibawa ke Ussu, ibukota kerajaan Luwu, dan ditukarkan dengan kain  dan barang kebutuhan lainnya. Orang-orang Ussu-lah yang menempa ulang  besi itu menjadi parang, pedang, hingga badik dan keris. Kelak dalam  sejarah panjang kerajaan Luwu hingga dalam teks I La Galigo, dikenallah  istilah Bessi to Ussu –besi orang Ussu atau juga bessi Luwu.

Laporan arkeologis dari proyek OXIS yang dilakukan Iwan Sumantri  (arkeolog Universitas Hasanuddin), David F Bullbeck (dari Australian  National University), dan Bagyo Prasetyo (Pusat Penelitian Arkelogi  Nasional) tahun 1998, kemudian dirangkum dalam buku Kedatuan Luwu,  menjelaskan bahwa Luwu menjadi populer karena memiliki akses besi yang  mengandung nikel di Matano, biji besi di Bungku, dan emas di Sulawesi  Tengah. Proyek OXIS, akronim dari Origin of Complex Society in South  Sulawesi, menggabungkan metodologi dari bidang penelitian sejarah dan  arkeologi (dan kemudian antropologi sosial) untuk mempelajari munculnya  kerajaan agraris di semenanjung barat daya pulau Sulawesi.
Ussu, pada abad ke-14, merupakan pusat pemerintahan kerajaan Luwu. Dalam  teks I La Galigo, Ussu menempati posisi istimewa karena magisnya dan  merupakan “pusat nyata” Luwu. Ussu berada di kaki bukit, tempat Sungai  Ussu melebar dan bercabang menjadi Sungai Malili. Menelusuri Sungai Ussu  di pesisir timurnya, Anda akan menemukan wilayah pandai besi Matano.  Pada masa itu, jarak tempuh melalui darat dengan berjalan kaki hanya  tiga hari. Penduduk Matano, selain menghasilkan besi dengan kandungan  nikel terbaik, juga mengekspor tembaga dalam skala lebih kecil. 
Menurut Iwan Sumantri, besi Luwu populer karena adanya kandungan nikel  yang membuat kualitas besi lebih ringan dengan titik didih yang rendah.  Pada abad ke-11 hingga pertengahan abad ke-15, Luwu mengekspor besi itu  ke Majapahit. Dalam teks Negarakertagama juga disebutkan demikian.  Majapahit sedang gencar memperluas daerah kekuasannya, “Dan tentu di  saat yang sama mereka membutuhkan besi secara besar-besaran untuk  membuat peralatan senjata,” kata Iwan.
Ketika volume perdagangan semakin tinggi, Luwu memindahkan pusat  kerajaan ke wilayah Malangke. Di sini perdagangan berkembang bukan hanya  sebatas ekspor besi tapi merambah rotan, damar, dan hasil hutan  lainnya. Namun, pada abad ke-16, perdagangan rempah-rempah yang  dilakukan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) atau Perserikatan  Perusahaan Hindia Timur membuat pamor Luwu mulai menurun. Majapahit  sebagai sekutu terbaik juga mulai redup. 
“Rempah-rempah menjadi primadona. Tak ada lagi permintaan besi,” kata Edwar Poelinggomang, sejarawan Universitas Hasanudin.
Menurut Edwar, menghilangnya Luwu dalam percaturan perdagangan Nusantara  dimulai pada 1559 saat VOC memusatkan perdagangan ke Indonesia Timur  dan memilih Makassar sebagai pelabuhan utama. Luwu yang berlokasi di  perairan Teluk Bone menjadi kesepian. Tak ada aktivitas. Warga pendatang  seperti Bugis pun hengkang. Abad ke-16 pusat kerajaan Luwu pindah ke  Palopo (sekarang Kotamadya Palopo) hingga akhirnya Luwu menghilang dan  tak terdengar lagi. 
Kini Luwu menjadi kerajaan paling misterius di Sulawesi Selatan. Tak ada  peninggalan kerajaannya. Kebesarannya hanya bisa diraba-raba. Sementara  Matano bahkan tak tercatat sebagai situs sejarah yang harus dilindungi  pemerintah daerah. “Matano akan hilang seperti pandai besinya,” kata  Iwan Sumantri. “Dan ini adalah kecelakaan besar bagi generasi kita.”